BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dewasa ini, keberagaman budaya di
Indonesia makin berkembang, meskipun itu adalah budaya yang telah lama ada.
Namun demikian, perkembangannya tidak meninggalkan aturan yang ada. Di antara tradisi yang beragam itu akan dibahas salah satu upacara
adat yang terdapat di Jawa Tengah yang disebut dengan
Tedhak Siti (Tedhak Siten). Upacara ini dilakukan untuk anak
yang baru pertama kali belajar berjalan dan selalu ditunggu-tunggu oleh orang tua
serta kerabat keluarga Jawa karena dari upacara ini mereka dapat memperkirakan
minat dan bakat adik kita yang baru bisa berjalan. Tedhak Siten berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa, yaitu
“tedhak” berarti ‘menapakkan kaki’ dan “siten” (berasal dari kata ‘siti’) yang
berarti ‘bumi’.
Upacara Tedhak Siti yang
dilaksanakan oleh masyarakat Jawa ini ada dua versi. Pertama, upacara Tedhak Siti yang dilaksanakan dengan ritual
lengkap, biasanya dilaksanakan di daerah keraton maupun daerah-daerah yang
berada di sekeliling keraton. Karena keraton merupakan sumber dan pusat bahasa,
kebudayaan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan ke-Jawa-an. Upacara yang
demikian membutuhkan biaya yang cukup besar karena banyaknya ubarampe yang
digunakan. Kedua, upacara Tedhak Siti
yang dilaksanakan dengan sederhana, biasanya dilaksanakan di daerah-daerah yang
jauh dari keraton selaku sumber kebudayaan. Upacara dengan model yang kedua ini
lebih sederhana, sehingga biaya yang dibutuhkan tidak begitu besar. Meskipun
demikian, pada dasarnya esensi keduanya sama, dan semuanya juga termasuk
kebudayaan Jawa. Dalam tulisan ini, akan lebih condong pada pelaksanaan upacara
Tedhak Siti secara sederhana. Hal tersebut karena objek penelitian kelompok
kami adalah upacara Tedhak Siti yang dilaksanakan di daerah Pekalongan, dan daerah
tersebut jauh dari sumber kebudayaan.
Pemilihan lokasi penelitian di
Pekalongan karena mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya karena (1)
meskipun warga masyarakat sekitar melestarikan tradisi tersebut, tapi mereka
belum mengetahui makna apa yang terkandung di dalamnya (2) tradisi tersebut
mulai tergerus jaman, sehingga masyarakat mulai mengabaikannya (3) pada waktu
penelitian kelompok kami, di desa Pakumbulan, Kecamatan Buaran, Kabupaten
Pekalongan ada pelaksanaan upacara Tedhak Siti.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat
pada latar belakang, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini
adalah :
1. Termasuk
folklor apakah upacara Tedhak Siti di daerah Kab. Pekalongan?
2. Apakah
pengertian upacara Tedhak Siti di daerah Kab. Pekalongan?
3. Bagaimana
pelaksanaan upacara Tedhak Siti di Kab. Pekalongan?
4. Bagaimana
warga masyarakat Kab. Pekalongan memaknai upacara Tedhak Siti?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah :
1. Untuk
mengetahui termasuk folklore lisan, setengah lisan atau nonlisankah upacara
Tedhak Siti itu
2. Untuk
mengetahui pengertian upacara Tedhak Siti di Kabupaten Pekalongan
3. Mengetahui
tentang pelaksanaan upacara Tedhak Siti yang dilaksanakan di Kabupaten
Pekalongan
4. Mengetahui
bagaimana masyarakat Kabupaten Pekalongan memaknai upacara Tedhak Siti.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat diantaranya :
1.4.1
Manfaat
Praktis
Bagi masyarakat, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan bahan acuan untuk
meningkatkan pengetahuan wawasan masyarakat, sehingga bisa menumbuhkan
antusiasme dan kontribusi masyarakat dalam melestarikan budaya tersebut. Bagi instansi
terkait, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan dalam pengambilan
kebijakan otonomi.
1.4.2
Manfaat
Teoretis
Bagi peneliti, penelitian ini
merupakan salah satu sarana latihan dalam menerapkan teori yang diperoleh
selama berada di bangku perkuliahan. Mengetahui kondisi yang sebenarnya tentang
bagaimana pelaksanaan upacara Tedhak Siti. Bagi pembaca, penelitian ini
merupakan langkah awal wahana latihan dalam penelitian, tambahan referensi dan
bahan kajian dalam menambah wawasan ilmu pengetahuan terkait dengan pentingnya
pelaksanaan upacara Tedhak Siti dan bagaimana warga masyarakat memaknainya.
Penelitian ini juga diharapkan, dapat memberikan manfaat kepada masyarakat umum
atau pengguna sekolah dalam memahami makna upacara Tedhak Siti agar lebih
memperhatikan dan peduli kepada budaya warisan leluhur kita tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Teori
Kata folklor adalah
peng-Indonesiaan dari Bahasa Inggris folklore.
Kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari kata dasar, yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes, kata folk
berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan
kebudayaan sama yang dapat dibedakan dari kelompok sosial yang lainnya.
Ciri-ciri pengenal itu adalah warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian,
bahasa, taraf pendidikan dan agama, serta cerita rakyat yang telah memiliki
tradisi secara turun temurun. Yang paling penting adalah mereka memiliki
kesadaran akan identitas sebagai masyarakat.
Sedangkan kata lore merupakan tradisi dari folk,
yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui contoh yang
disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat. Sehingga folklor adalah
bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik
dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak dengan gerak isyarat atau
alat bantu pengingat.
Menurut Kamus Istilah Sastra,
Folklor adalah adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan
turun temurun tetapi tidak dibukukan; suatu budaya kolektif yang memiliki
sejumlah ciri khas yang tidak dimiliki oleh budaya lain. Sedangkan menurut
Kamus Besar Indonesia, Folklor adalah adat-istiadat tradisional dan cerita
rakyat yang tidak dibukukan. Ilmu yang menyelidiki adat-istiadat tradisional
dan cerita rakyat yang tidak dibukukan. Dengan kata lain, folklor adalah cerita
rakyat yang masih dipercayai oleh masyarakat.
Adapun ciri-ciri folklor yaitu:
1. Penyebaran
dan pewarisannya secara lisan
2. Bersifat
tradisional
3. Folklor
ada dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda
4. Bersifat
anonim (tanpa pengarang)
5. Mempunyai
bentuk berumus atau berpola
6. Mempunyai
manfaat dalam kehidupan bersama
7. Bersifat
pralogis (mempunyai logika sendiri yang berbeda dengan logika umum)
8. Menjadi
milik bersama dari masyarakat tertentu
9. Pada
umumnya bersifat lugu dan polos, sehingga sering kali kelihatannya kasar atau
terasa tidak sopan (cerita mentah).
Pada dasarnya folklor yang terdapat
di daerah-daerah tersebut masih berbentuk kasar, belum diolah dengan bahasa
yang mudah dipahami. Menurut Jan Harold Brunvand, ahli folklor dari Amerika
Serikat, berdasarkan tipenya ada beberapa macam folklor, yaitu : folklor lisan,
folklor setengah lisan, dan folklor bukan lisan.
a. Folklor
lisan adalah folklor yang bentuknya murni lisan. Contohnya :
-
Bahasa rakyat
-
Ungkapan tradisional
-
Pertanyaan tradisional
-
Puisi rakyat
-
Cerita prosa rakyat
-
Nyanyian-nyanyian
rakyat
b. Folklor
sebagian (setengah) lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran
unsur lisan dan bukan lisan. Folklor setengah lisan disebut juga fakta sosial.
Contohnya :
-
Kepercayaan dan
takhayul
-
Permainan dan hiburan
rakyat setempat
-
Teater rakyat, seperti :
lenong, ludruk, dan ketoprak
-
Tari rakyat, seperti
tari tayuban dan jaran kepang
-
Adat kebiasaan, seperti
sambatan dalam pembuatan rumah, gugur gunung dalam pembuatan jalan desa, pesta
selamatan, dan khitan
-
Upacara tradisional,
seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten
-
Pesta rakyat
tradisional, seperti selamatan bersih desa dan selesai panen.
Pada kenyataannya, banyak
masyarakat kita yang tidak mengetahui perihal folklor. Bahkan banyak pula yang
terabaikan. Oleh karena itu, kami mencoba untuk melakukan observasi mengenai
kondisi folklor yang ada di masyarakat. Dengan harapan kita bisa mengerti aktif
tidaknya folklor tersebut. Selain itu kita juga bisa mengetahui seberapa jauh
pemahaman masyarakat mengenai folklor yang ada di tempatnya, dan mengetahui pelaksanaan
folklor secara nyata di lapangan.
2.2 Analisis Folklor Tedhak Siti
Tedhak Siti adalah suatu upacara
dalam tradisi budaya Jawa yang dilakukan ketika anak pertama belajar jalan dan
dilaksanakan pada usia yang berkisar tujuh bulan. Tedhak Siti berasal dari kata
“Tedhak” yang berarti menapakkan kaki
atau langkah, dan Siten yang berasal dari kata “siti” berarti tanah. Maka, Tedhak Siti adalah turun (ke) tanah atau
mudhun lemah. Lengkapnya, tradisi ini diperuntukkan bagi bayi berusai 7 lapan
atau 7 x 35 hari (245 hari). Jumlah selapan adalah 35 hari menurut perhitungan
Jawa berdasarkan hari pasaran (Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage). Pada usia 245 hari, si anak mulai
menapakkan kakinya pertama kali di tanah, untuk belajar duduk dan belajar
berjalan. Ritual ini menggambarkan kesiapan seorang anak (bayi) untuk menghadapi
kehidupannya. Biasanya diselenggarakan pada pagi hari, di halaman
rumah. Selain itu, sajen tidak boleh dilupakan, melambangkan permintaan
dan doa kepada Tuhan untuk memohon berkat dan perlindungan, berkat dari nenek
moyang, memberantas kejahatan dari perbuatan buruk manusia dan semangat.
Tedhak Siti juga sebagai bentuk
pengharapan orang tua terhadap buah hatinya agar si anak kelak siap dan sukses
menapaki kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan dengan bimbingan
orang tuanya dan sebagai wujud penghormatan terhadap siti (bumi) yang memberi
banyak hal dalam kehidupan manusia.
Tahapan dalam upacara Tedhak Siti
antara lain adalah:
1. Membersihkan
kaki
2. Menginjak
tanah
3. Berjalan
melewati tujuh wadah
4. Tangga
tebu wulung
5. Masuk
kurungan
6. Memberikan
uang
7. Melepas
ayam
Perlengkapan untuk ritual ini
adalah Jadah (tetel) tujuh warna, merupakan makanan yang terbuat dari
beras ketan yang dicampur dengan parutan kelapa muda dengan ditambahi garam
agar rasanya gurih, warna jadah tujuh rupa itu yaitu warna merah, putih, hitam,
kuning, biru, jingga dan ungu. Bermakna sebagai simbol kehidupan yang akan
dilalui oleh si anak, dari menapakkan kakinya pertama kali di bumi ini sampai
dewasa, sedangkan warna-warna tersebut merupakan gambaran dalam kehidupan si
anak akan menghadapi banyak pilihan dan rintangan. Jadah disusun mulai dari
warna yang gelap ke terang, menggambarkan bahwa masalah yang dihadapi si anak
mulai dari yang berat sampai yang ringan, maksudnya seberat apapun masalahnya
pasti ada titik terangnya yang disitu terdapat penyelesaiannya.
Selanjutnya tumpeng, merupakan nasi yang dibentuk seperti kerucut
yang disajikan dengan urap sayur (hidangan yang terbuat dari sayur
kacang panjang, kangkung dan kecampah yang diberi bumbu kelapa yang telah
dikukus atau disangrai) dan ingkung ayam. Tumpeng melambangkan permohan orang
tua kepada sang Maha Pencipta agar si anak kelak menjadi anak yang berguna,
sayur kacang panjang bermakna simbol umur agar si anak berumur panjang, sayur
kangkung bermakna dimanapun si anak hidup, dia mampu tumbuh dan berkembang,
sayur kecambah merupakan simbol kesuburan dan ayam mengartikan kelak si anak
dapat hidup mandiri.
Kurungan
ayam yang dihiasi janur dan kertas
warna-warni. Kurungan ayam yang dihiasi mempunyai makna di dunia nyata anak
akan dihadapkan pada berbagai macam pilihan pekerjaan. Tangga yang terbuat dari
tebu jenis arjuna, menyiratkan harapan agar si anak mampu berjuang layaknya Arjuna yang terkenal dengan tanggung jawabnya dan sifat
perjuangannya. Dalam adat Jawa tebu kependekan dari antebing kalbu yang
bermakna agar si anak dalam menjalani kehidupan ini dengan tekad kuat dan hati
yang mantap.
Prosesi diawali dengan membimbing
anak menapaki jadah 7 warna yang telah disusun berdasarkan warna gelap ke terang. Lalu diarahkan untuk menaiki
tangga yang terbuat dari tebu arjuna, selanjutnya si anak dimasukkan ke dalam
kurungan ayam yang telah dihiasi dan terdapat cincin, alat tulis, kapas,
tasbih, dan lain sebagainya, mungkin bergantung dengan perkembangan jaman kalau jaman sekarang ini bisa dimasukkan
barang-barang IT (HP, notebook, PDA atau lainnya). Kemudian si anak di suruh
mengambil salah satu dari barang tersebut, barang yang dipilih merupakan
gambaran dari kegemaran dan juga pekerjaan yang diminatinya kelak setelah
dewasa.
Kemudian sebar beras kuning yang telah dicampur dengan uang logam untuk diperebutkan,
menggambarkan agar kelak ia menjadi anak yang dermawan dalam lingkungannya.
Prosesi terakhir, si anak dimandikan dengan bunga setaman lalu mengenakan
mengenakan baju yang baru. Tujuannya agar si anak tetap sehat, membawa nama
harum bagi keluarga, berkehidupan layak, makmur dan berguna bagi lingkungannya.
Dalam acara Tedhak Siti, sesaji yang biasa digunakan antara lain kembang boreh,
bubur baro-baro, macam-macam bumbu dapur
dan kinangan (bahan menginang). Bubur baro-baro adalah bubur yang terbuat dari
bekatul, sesaji ini ditujukan untuk kakek nini among (plasenta/ari-ari). Sedangkan
kembang boreh, macam-macam bumbu dapur dan kinangan, sesaji ini ditujukan untuk
nenek moyang.
Selain sesaji juga ada pelengkap
pendukung yaitu bubur merah putih (sengkala) yang melambangkan darah (bubur
merah) dan air mani (bubur putih), kemudian ada juga jajanan pasar (jongkong,
centil, grontol jagung, lopis, gatot dan tiwul) yang melambangkan dalam
berkehidupan kita akan banyak berinteraksi dengan banyak orang dengan berbagai
karakter sehingga si anak dapat mudah bersosialisasi. Selain itu terdapat aneka
pala pendhem (aneka umbi-umbian) yang mempunyai
makna agar si anak mempunyai sifat andhap asor.
Setelah perlengkapan siap, ritual pun dimulai. Si anak dimandikan dengan air
kembang setaman. Setelah memakai pakaian baru, ia dibimbing ibunya menginjak
jadah 7 warna. Selanjutnya dibimbing menaiki tangga yang dibuat dari tebu
wulung berwarna ungu. Kemudian dimasukkan kedalam kurungan ayam berhias janur
kuning dan hiasan lainnya. Dalam kurungan tersebut terdapat beberapa benda yang
harus dipilih sang anak.
Meskipun demikian, tidak semua
daerah di Jawa (khususnya Jawa Tengah) melaksanakan upacara Tedhak Siti dengan
ritual yang lengkap sebagaimana dijelaskan diatas. Termasuk di daerah Kab.
Pekalongan, upacara Tedhak Siti yang dilaksanakan di daerah tersebut lebih
sederhana. Ubarampe yang dibutuhkan juga tidak sebanyak yang dijelaskan diatas.
Sesuai dengan hasil observasi kelompok kami tentang pelaksanaan upacara Tedhak
Siti yang dilaksanakan di Pekalongan, maka secara garis besar pelaksanaan
upacara Tedhak Siti di sana adalah sebagaimana keterangan dibawah ini.
2.3 Hasil Analisis Folklor Tedhak Siti di
Daerah Pekalongan
Kami mengambil contoh upacara Tedhak
Siti yang dilaksanakan di daerah Pekalongan, dimana masyarakat setempat
menyebutnya dengan Dhun-dhunan. Kebetulan, bayi yang di-Tedhak Siti adalah
Yasmina Jua Adila, putri dari Bapak Subkhan dan Ibu Iklimah, yang lahir pada 30
April 2011. Biasanya, upacara tersebut
dilaksanakan pada pagi hari. Dimulai sekitar pukul 09.00 WIB, dilaksanakan di
halaman sekitar rumah si bayi dan dipimpin oleh dukun bayi (seorang wanita yang
dianggap memiliki keahlian khusus untuk merawat ibu bayi dan bayinya sejak
hamil sampai melahirkan, begitu pula saat prosesi Dhun-dhunan).
Prosesi upacara Dhun-dhunan di
daerah Pekalongan:
1. Dukun
bayi menggendong bayi menuju tempat upacara dilaksanakan
2. Dukun
bayi mendoakan si bayi, dengan doa khusus berbahasa Jawa yang intinya agar si
bayi selamat dari segala malapetaka
3. Kemudian
si bayi dimasukkan ke dalam kurungan yang telah disiapkan, dengan beberapa
benda yang harus diambilnya, antara lain: tasbih, buku, alat tulis, cermin,
uang, daun salam, Iqra’, dan perhiasan
4. Bayi
mengambil salah satu benda tersebut
5. Setelah
bayi mengambil salah satu barang, kemudian bayi dikeluarkan dari kurungan
6. Kemudian
dilanjutkan prosesi menyebar beras kuning beserta uang logam yang nanti
diperebutkan oleh para masyarakat sekitar
7. Setelah
itu dibagikan bancaan bagi para tetangga si bayi
8. Memandikan
bayi
9. Menyiapkan
bubur candhil yang juga dibagikan kepada warga
10. Sore
hari setelah sholat Maghrib, diadakan acara barzanji (tetapi acara ini tidak
wajib dilakukan, hanya masyarakat yang mampu dan menghendaki saja).
Ubarampe yang digunakan pada saat
upacara Dhun-dhunan, yaitu :
1. Kurungan,
yang terbuat dari bambu yang dianyam sedemikian rupa (kurungan ayam)
2. Bubur
cadhil, yang terbuat dari tepung pati dan tepung beras, gula jawa, gula pasir
3. Uang
logam, 200-500 rupiah berjumlah 50.000 sampai 5.000.000 rupiah sesuai kemampuan
perekonomian masing-masing masyarakat
4. Nasi
bancakan, yang terdiri dari nasi putih, urapan, dan ikan asin
5. Benda-benda
yang disediakan, antara lain : tasbih, buku, alat tulis, cermin, uang, daun
salam, Iqra’, dan perhiasan. Dengan makna:
a. Tasbih
: diharapkan agar si bayi kelak akan menjadi orang yang pandai dalam beragama
b. Buku
: diharapkan agar si bayi kelak menjadi orang pandai dan suka membaca
c. Alat
tulis : diharapkan agar si bayi pandai menulis
d. Cermin
: diharapkan agar si bayi pandai bersolek
e. Uang
: diharapkan agar si bayi menjadi orang yang kaya
f. Daun
salam : diharapkan agar si bayi pandai memasak
g. Iqra’
: diharapkan agar si bayi pandai mengaji
h. Perhiasan
: diharapkan agar si bayi menjadi orang yang berkecukupan dan makmur dalam
hidupnya.
Pelaksanaan Dhun-dhunan di daerah
Pekalongan, bisa dilaksanakan di waktu lain, di luar usia 7 bulan. Hal ini
dilakukan jika orang tua bayi belum memiliki biaya untuk melaksanakan upacara Dhun-dhunan
tersebut. Namun ada waktu khusus untuk menggantinya, yaitu apabila bayi sudah
dewasa (perempuan saat menikah dan laki-laki saat acara khitanan).
2.4
Tedhak
Siti Menurut Narasumber dan Beberapa Responden
Untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai upacara Tedhak Siti di daerah tersebut, kami melakukan wawancara
dengan narasumber dan beberapa responden. Berikut laporannya:
2.4.1
Hj.
Sarmo’ah (dukun bayi), selaku narasumber.
Menyatakan bahwa Tedhak Siti adalah
upacara memperingati usia tujuh lapan bayi (dalam bahasa Jawa disebut “pitung
lapan” (35 x 7) ). Tedhak Siti masih dilaksanakan di daerah yang bersangkutan
karena hal tersebut masih dipercaya dan masih menjadi adat serta sebagai rasa
syukur karena sang anak sudah berusia tujuh bulan dan telah tiba waktunya untuk
dikenalkan pada kehidupan dunia yang sebenarnya.
Sarana prasarananya yaitu, beras
kuning (beras yang diberi kunir); bubur cadhil (terbuat dari tepung pati)
berwarna merah gula jawa yang melambangkan rahim sang ibu dengan cadhilnya yang
melambangkan si janin (usia empat bulan) menempel di perut sang ibu dan putih
melambangkan kawah/air ketuban ibu; kurungan lambang ketahanan / perlindungan
bagi si bayi sebelum ia benar-benar kenal dan dilepas ke dunia luar yang akan
menjadi kehidupannya kelak; di dalam kurungan diletakkan beberapa benda dengan
tujuan agar si bayi mengambil salah satu benda tersebut. Dari situ, dapat
dikira-kira kelak si bayi akan menjadi apa dan bagaimana perangainya. Benda-benda
yang diletakkan di dalam kurungan tersebut
antara lain: tasbih, Al-Quran, Iqra’, alat tulis, kaca, mainan dan
perhiasan. Makna masing-masing benda, yaitu:
a. Tasbih:
ahli agama
b. Al-Quran:
religious
c. Iqra’:
rajin mengaji
d. Alat
tulis: gemar menulis, berpengetahuan luas
e. Kaca:
pesolek untuk mengetahui rupawan / menawan
f. Mainan:
kesenangan; gemar bermain
g. Perhiasan:
kemakmuran; hidup berkecukupan
Di samping itu terdapat pula doa khusus yang diucapkan
dengan bahasa Arab, namun juga bahasa Jawa dengan inti agar si bayi sehat jasmani
rohani. Doa diucapkan saat bayi diturunkan / didekatkan ke tanah. Setelah itu,
si dukun bayi menyebarkan uang logam kepada warga yang menyaksikan. Saat itu,
kebanyakan anak kecil yang menyaksikannya. Uang tersebut terdiri atas logam seratusan
hingga lima ratusan yang di campur dengan beras kuning tadi. Jumlah uang
bergantung dari si pelaksana, bisa berjumlah Rp. 50.000,- hingga Rp.
5.000.000,-. Bahkan ada pula yang menyediakan door prize bagi warga yang
menyaksikan. Kemudian dilanjutkan dengan pembagian brekat (nasi dengan urap
yang terdiri atas mie goreng, sayuran, ikan asin) yang ditempatkan pada daun
pisang yang telah di pincuk sedemikian rupa.
Menurutnya, upacara ini disebarkan
secara lisan dan sudah berbeda dengan upacara Tedhak Siti yang dulu karena
berkembangnya jaman, dan tetap dilaksanakan secara turun temurun.
Pelaksanaannya pun berbeda, bergantung dari pihak si pelaksana dan kondisi. Ada
pula yang melaksanakan siang hari kemudian malamnya melaksanakan kenduri
(slametan) telah dilaksanakannya Tedhak Siti. Proses pelaksanaannya sama antara
bayi laki-laki dan perempuan.
Urutan pelaksanaan:
1. Bayi
yang digendong dukun bayi diturunkan ke tanah dan dimasukkan ke dalam kurungan
yang telah diberi benda-benda tersebut di atas.
2. Setelah
bayi dimasukkan, dilihat, ia mengambil apa dan dukun bayi membaca doa
3. Kurungan
di buka, bayi digendong kembali oleh dukun bayi sembari menyebarkan uang
tersebut di atas pada warga (bermakna dan bertujuan agar si bayi menjadi orang
dermawan)
4. Bayi
dimandikan
5. Bubur
cadhil dan nasi urap dibagikan pada warga (makna dan tujuan sama dengan nomor
tiga)
2.4.2
Tedhak
Siti Menurut Responden
1.
Responden 1 (Maryam, 37
tahun, ibu rumah tangga)
Saat ditanya mengenai apa itu
Tedhak Siti, beliau mengaku tidak tahu nama upacara Tedhak Siti adalah “Tedhak
Siti”. Ia menyebutnya dengan upacara dhun-dhunan
bayi. Menurutnya, alat-alat yang dibutuhkan yaitu, tasbih, uang, kaca, alat
tulis dan kurungan. Disamping itu, menggunakan uang receh untuk disebarkan pada
warga yang menyaksikan Cara penyebarannya disampaikan secara lisan (dari mulut
ke mulut). Ia menambahkan bahwa, upacara Tedhak Siti ini wajib dilaksanakan
karena kepercayaan masyarakat, yaitu jika tidak dilaksanakan, si bayi akan
sulit berjalan.
2.
Respoden 2 (Hj. Royati,
57 tahun, ibu rumah tangga)
Lebih kurangnya sama dengan
responden 1. Tambahannya mengenai makanan yang terdapat saat upacara
berlangsung, yaitu bubur cadhil dari tepung pati, nasi urap yang berisi
sayuran, mie goreng, ikan goreng, cecek. Selain itu, menambahkan bahwa sebelum
upacara Tedhak Siti dilaksanakan, saat bayi berusia 40 hari diadakan syukuran
yang disebut slametan dengan memotong
rambut bayi yang dilakukan oleh kakeknya baru kemudian peringatan tujuh bulan
si bayi yang ditepatkan dengan hari lahirnya si bayi.
3.
Responden 3 (Thoha,
usia 32 tahun, sekretaris desa)
Sepengetahuannya mengenai sejak
kapan Tedhak Siti dilaksanakan di daerah ini, beliau mengaku tidak tahu pasti
karena warga sekitar belum ada yang mendokumentasikan secara tertulis maupun secara
lisan tentang asal mula Dhun-dhunan di desa ini.
4.
Responden 4 (Aunur
Rohman, 17 tahun, pelajar SMA)
Ia menyebutkan urutan pelaksanaan
Tedhak Siti, yaitu dimulai dari bayi yang dikurung dengan kurungan ayam,
didalam kurungan tersebut bayi memilih sesuatu. Dilanjutkan dengan membagikan
uang kepada masyarakat sekitar, terus makan nasi, dan keluarga bayi membagikan
bubur cadhil.
5.
Responden 5 (H. Imron
Kamsari, 45 tahun, pengusaha)
Berkaitan dengan perkembangan
jaman, beliau mengatakan bahwa Tedhak Siti masih pantas dilaksanakan, karena
itu merupakan warisan nenek moyang kita. Tapi memang masyarakat sekarang tidak
banyak yang mengetahui makna apa yang terkandung dalam upacara tersebut.
6.
Responden 6 (Abdul Basit,
28 tahun, wirausaha)
Menyatakan bahwa Tedhak Siti
merupakan tradisi warisan dari dulu yang masih dilestarikan masyarakat sampai
sekarang. Jika tidak melaksanakannya, masyarakat khawatir akan mendapat bala’
atau musibah.
7.
Responden 7 (Aziz, 19
tahun, mahasiswa)
Yang diketahui dari Tedhak Siti
tersebut adalah didalam kurungan itu disediakan barang-barang, barang yang
diambil bayi itu akan menggambarkan masa depan bayi. Seperti bayi tadi
mengambil tasbih, maka bisa saja kelak dia akan menjadi seorang yang ahli di
bidang agama Islam.
8.
Responden 8 (Kyai
Abdurrahim, 35 tahun, tokoh masyarakat)
Berpendapat bahwa jika dihubungkan
dengan agama Islam, selagi itu tidak melanggar syariat, tidak masalah. Karena juga
merupakan budaya kita yang sudah mendarah daging.
9.
Responden 9 (Hj. Karti,
usia 57 tahun, petani)
Berkaitan dengan adakah dampak bagi
keluarga yang tidak melaksanakan Tedhak Siti, beliau menjelaskan bahwa warga
masih mempercayai kedalaman makna yang terkandung dari Dhun-dhunan (Tedhak Siti),
karena merasa khawatir akan terjadi apa-apa jika tidak dilaksanakan. Tetapi
pernah juga ada yang tidak melaksanakan dan tidak terjadi apa-apa. Meskipun
demikian, mayoritas tetap melaksanakannya.
10.
Responden 10 (Abdillah,
12 tahun, pelajar SMP)
Menyebut upacara Tedhak Siti dengan
nyebar dhuwit. Karena hal yang paling
diketahuinya dari rangkaian upacara tersebut adalah saat uang receh disebarkan
dan warga yang menyaksikan berebut mengambil uang tersebut. Ia menambahkan
bahwa, upacara ini dilaksanakan agar si bayi selamat dunia akhirat. Yang
diketahui selanjutnya adalah bayi yang dimasukkan dalam kurungan tersebut
dibimbing agar mengambil salah satu benda yang sudah disediakan, setelah itu
bayi dikeluarkan dan dibacakan doa oleh sang dukun.
BAB IV
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Tedhak Siti merupakan salah satu
bentuk folklor setengah lisan yang masih ada dan dilaksanakan di masyarakat
Jawa. Meskipun sudah mengalami perubahan dan perkembangan, namun tidak
meninggalkan aturan-aturan yang berlaku, baik tata cara maupun sarana
prasarananya. Ia berasal dari kata “tedhak”
yang berarti turun dan “siti” yang
berarti tanah. Secara keseluruhan berarti turun (ke) tanah, bagi bayi yang
berusia tujuh bulan (tujuh lapan) sebagai arti simbolis bayi dikenalkan dengan
tanah kelahirannya dan agar ia tahu dengan keadaan dunia luar dalam
kehidupannya kelak.
Dari hasil observasi kami mengenai
Tedhak Siti di dukuh Kentingan, Desa Pakumbulan, Kecamatan Buaran, Kabupaten
Pekalongan, upacara tersebut masih sering dilaksanakan karena mereka (yang
bersangkutan melaksanakan upacara tersebut) beranggapan bahwa Tedhak Siti merupakan
suatu proses untuk mengantarkan dan mengenalkan bayi pada dunia luarnya dengan
harapan keselamatan, kesehatan, kemakmuran dunia akhirat dan sebagai rasa
syukur karena bayi telah berusia tujuh bulan. Tedhak Siti di daerah tersebut
terbilang sederhana, karena yang terpenting adalah makna, harapan dan tujuannya
terutama bagi keluarga yang melaksanakan. Disamping itu, terserah bagaimana
akan dilaksanakan, bergantung dari kondisi ekonomi yang bersangkutan.
3.2
Saran
Dalam masyarakat Jawa ini, terdapat
beragam folklor. Salah satunya Tedhak Siti yang masih bertahan di beberapa
daerah saja. Seyogyanya, kita, baik masyarakat maupun pemerintah mengupayakan
agar Tedhak Siti tersebut tetap lestari dengan langkah awal mengenal dan
memahaminya, apa, kapan dan bagaimana Tedhak Siti itu.
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja,
James. 2007. Folklor Indonesia.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Wikipedia.
2011. “Upacara Tradisional Jawa : Tedak Siten.” http://kamusjawa.com/upacara-tradisional-jawa-tedak-siten.html.
Diunduh pada tanggal 23 November 2011.
Negoro,
S. Suryo. 2011. “Tedhak Siten.” http://www.kidnesia.com/Kidnesia/Indonesiaku/Propinsi/Jawa-Tengah/Seni-Budaya/Tedhak-Siten.
Diunduh pada tanggal 23 November 2011.
Ruthia.
2011. “Tedhak Siti.” http://namasayaruthia.blogspot.com/2011/09/tedhak-siti.html.
Diunduh pada tanggal 23 November 2011.
waw lengkap ya infonya
BalasHapusJakarta || Banten ||Lombok